THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 29 Maret 2011

keanekaragaman hayati

Keanekaragaman hayati atau biodiversitas (Bahasa Inggris: biodiversity) adalah suatu istilah pembahasan yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan menurut skala organisasi biologisnya, yaitu mencakup gen, spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme serta ekosistem dan proses-proses ekologi dimana bentuk kehidupan ini merupakan bagiannya. Dapat juga diartikan sebagai kondisi keanekaragaman bentuk kehidupan dalam ekosistem atau bioma tertentu. Keanekaragaman hayati seringkali digunakan sebagai ukuran kesehatan sistem biologis.
Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata di bumi; wilayah tropis memiliki keanekaragaman hayati yang lebih kaya, dan jumlah keanekaragaman hayati terus menurun jika semakin jauh dari ekuator.
Keanekaragaman hayati yang ditemukan di bumi adalah hasil dari miliaran tahun proses evolusi. Asal muasal kehidupan belum diketahui secara pasti dalam sains. Hingga sekitar 600 juta tahun yang lalu, kehidupan di bumi hanya berupa archaea, bakteri, protozoa, dan organisme uniseluler lainnya sebelum organisme multiseluler muncul dan menyebabkan ledakan keanekaragaman hayati yang begitu cepat, namun secara periodik dan eventual juga terjadi kepunahan secara besar-besaran akibat aktivitas bumi, iklim, dan luar angkasa.

Jenis keanekaragaman hayati

  • Keanekaragaman genetik (genetic diversity); Jumlah total informasi genetik yang terkandung di dalam individu tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang mendiami bumi.
  • Keanekaragaman spesies (species diversity); Keaneraragaman organisme hidup di bumi (diperkirakan berjumlah 5 - 50 juta), hanya 1,4 juta yang baru dipelajari.
  • Keanekaragaman ekosistem (ecosystem diversity); Keanekaragaman habitat, komunitas biotik dan proses ekologi di biosfer atau dunia laut.

Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.


Filosofi pendidikan

Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran.
Bagi sebagian orang pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."
Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam -- sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka -- walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.

Pendidikan dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

Pendidikan menengah

Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar.

Pendidikan tinggi

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Jalur pendidikan

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Pendidikan formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.

Pendidikan nonformal

Pendidikan nonformal paling banyak terdapat pada usia dini, serta pendidikan dasar, adalah TPA, atau Taman Pendidikan Al Quran,yang banyak terdapat di setiap mesjid dan Sekolah Minggu, yang terdapat di semua gereja.

Pendidikan informal

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab.

Jenis pendidikan

Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

Pendidikan umum

Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bentuknya: sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA).

Pendidikan kejuruan

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Bentuk satuan pendidikannya adalah sekolah menengah kejuruan (SMK).

Pendidikan akademik

Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.

Pendidikan profesi

Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memasuki suatu profesi atau menjadi seorang profesional.

Pendidikan vokasi

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal dalam jenjang diploma 4 setara dengan program sarjana (strata 1).

Pendidikan jasmani

Pendidikan jasmani di Jakarta di masa Hindia Belanda

Pendidikan keagamaan

Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan dan pengalaman terhadap ajaran agama dan /atau menjadi ahli ilmu agama.

Pendidikan khusus

Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif (bergabung dengan sekolah biasa) atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah (dalam bentuk sekolah luar biasa/SLB).

Jumat, 11 Maret 2011

Gempa Bumi

Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Bumi kita walaupun padat, selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan.


Tipe gempa bumi

  1. Gempa bumi vulkanik ( Gunung Api ) ; Gempa bumi ini terjadi akibat adanya aktivitas magma, yang biasa terjadi sebelum gunung api meletus. Apabila keaktifannya semakin tinggi maka akan menyebabkan timbulnya ledakan yang juga akan menimbulkan terjadinya gempabumi. Gempa bumi tersebut hanya terasa di sekitar gunung api tersebut.
  2. Gempa bumi tektonik ; Gempa bumi ini disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik, yaitu pergeseran lempeng lempeng tektonik secara mendadak yang mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar. Gempabumi ini banyak menimbulkan kerusakan atau bencana alam di bumi, getaran gempa bumi yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian bumi. Gempa bumi tektonik disebabkan oleh perlepasan [tenaga] yang terjadi karena pergeseran lempengan plat tektonik seperti layaknya gelang karet ditarik dan dilepaskan dengan tiba-tiba. Tenaga yang dihasilkan oleh tekanan antara batuan dikenal sebagai kecacatan tektonik. Teori dari tectonic plate (lempeng tektonik) menjelaskan bahwa bumi terdiri dari beberapa lapisan batuan, sebagian besar area dari lapisan kerak itu akan hanyut dan mengapung di lapisan seperti salju. Lapisan tersebut begerak perlahan sehingga berpecah-pecah dan bertabrakan satu sama lainnya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya gempa tektonik.
Peta penyebarannya mengikuti pola dan aturan yang khusus dan menyempit, yakni mengikuti pola-pola pertemuan lempeng-lempeng tektonik yang menyusun kerak bumi. Dalam ilmu kebumian (geologi), kerangka teoretis tektonik lempeng merupakan postulat untuk menjelaskan fenomena gempa bumi tektonik yang melanda hampir seluruh kawasan, yang berdekatan dengan batas pertemuan lempeng tektonik. Contoh gempa vulkanik ialah seperti yang terjadi di Yogyakarta, Indonesia pada Sabtu, 27 Mei 2006 dini hari, pukul 05.54 WIB,
  1. Gempa bumi tumbukan ; Gempa bumi ini diakibatkan oleh tumbukan meteor atau asteroid yang jatuh ke bumi, jenis gempa bumi ini jarang terjadi
  2. Gempa bumi runtuhan ; Gempa bumi ini biasanya terjadi pada daerah kapur ataupun pada daerah pertambangan, gempabumi ini jarang terjadi dan bersifat lokal.
  3. Gempa bumi buatan ; Gempa bumi buatan adalah gempa bumi yang disebabkan oleh aktivitas dari manusia, seperti peledakan dinamit, nuklir atau palu yang dipukulkan ke permukaan bumi.

Penyebab terjadinya gempa bumi

Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi.
Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan lempengan lempengan tersebut. Gempa bumi yang paling parah biasanya terjadi di perbatasan lempengan kompresional dan translasional. Gempa bumi fokus dalam kemungkinan besar terjadi karena materi lapisan litosfer yang terjepit kedalam mengalami transisi fase pada kedalaman lebih dari 600 km.
Beberapa gempa bumi lain juga dapat terjadi karena pergerakan magma di dalam gunung berapi. Gempa bumi seperti itu dapat menjadi gejala akan terjadinya letusan gunung berapi. Beberapa gempa bumi (jarang namun) juga terjadi karena menumpuknya massa air yang sangat besar di balik dam, seperti Dam Karibia di Zambia, Afrika. Sebagian lagi (jarang juga) juga dapat terjadi karena injeksi atau akstraksi cairan dari/ke dalam bumi (contoh. pada beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi dan di Rocky Mountain Arsenal. Terakhir, gempa juga dapat terjadi dari peledakan bahan peledak. Hal ini dapat membuat para ilmuwan memonitor tes rahasia senjata nuklir yang dilakukan pemerintah. Gempa bumi yang disebabkan oleh manusia seperti ini dinamakan juga seismisitas terinduksi

Sejarah gempa bumi besar pada abad ke-20 dan 21

  • 11 Maret 2011, Gempa bumi di Jepang, 373 km dari kota Tokyo berskala 8,9 Skala Richter, menimbulkan tsunami.
  • 26 Oktober 2010, Gempa bumi di Mentawai berskala 7.2 Skala Richter, korban tewas ditemukan hingga 9 November ini mencapai 156 orang. Gempa ini kemudian juga menimbulkan tsunami.
  • 16 Juni 2010, Gempa bumi 7,1 Skala Richter menggguncang Biak, Papua.
  • 7 April 2010, Gempa bumi dengan kekuatan 7.2 Skala Richter di Sumatera bagian Utara lainnya berpusat 60km dari Sinabang, Aceh. Tidak menimbulkan tsunami, menimbulkan kerusakan fisik di beberapa daerah, belum ada informasi korban jiwa.
  • 27 Februari 2010, Gempa bumi di Chili dengan 8.8 Skala Richter, 432 orang tewas (data 30 Maret 2010). Mengakibatkan tsunami menyeberangi Samudera Pasifik yang menjangkau hingga Selandia Baru, Australia, kepulauan Hawaii, negara-negara kepulauan di Pasifik dan Jepang dengan dampak ringan dan menengah.
  • 12 Januari 2010, Gempa bumi Haiti dengan episenter dekat kota Léogâne 7,0 Skala Richter berdampak pada 3 juta penduduk, perkiraan korban meninggal 230.000 orang, luka-luka 300.000 orang dan 1.000.000 kehilangan tempat tinggal.
  • 30 September 2009, Gempa bumi Sumatera Barat merupakan gempa tektonik yang berasal dari pergeseran patahan Semangko, gempa ini berkekuatan 7,6 Skala Richter (BMG Indonesia) atau 7,9 Skala Richter (BMG Amerika) mengguncang Padang-Pariaman, Indonesia. Menyebabkan sedikitnya 1.100 orang tewas dan ribuan terperangkap dalam reruntuhan bangunan.
  • 2 September 2009, Gempa Tektonik 7,3 Skala Richter mengguncang Tasikmalaya, Indonesia. Gempa ini terasa hingga Jakarta dan Bali, berpotensi tsunami. Korban jiwa masih belum diketahui jumlah pastinya karena terjadi Tanah longsor sehingga pengevakuasian warga terhambat.
Kerusakan akibat gempa bumi di San Francisco pada tahun 1906
Sebagian jalan layang yang runtuh akibat gempa bumi Loma Prieta pada tahun 1989

Tsunami

Tsunami (bahasa Jepang: 津波; tsu = pelabuhan, nami = gelombang, secara harafiah berarti "ombak besar di pelabuhan") adalah perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau atau hantaman meteor di laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500-1000 km per jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang Tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena Tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami.
Dampak negatif yang diakibatkan tsunami adalah merusak apa saja yang dilaluinya. Bangunan, tumbuh-tumbuhan, dan mengakibatkan korban jiwa manusia serta menyebabkan genangan, pencemaran air asin lahan pertanian, tanah, dan air bersih.
Sejarawan Yunani bernama Thucydides merupakan orang pertama yang mengaitkan tsunami dengan gempa bawah lain. Namun hingga abad ke-20, pengetahuan mengenai penyebab tsunami masih sangat minim. Penelitian masih terus dilakukan untuk memahami penyebab tsunami.
Teks-teks geologi, geografi, dan oseanografi di masa lalu menyebut tsunami sebagai "gelombang laut seismik".
Beberapa kondisi meteorologis, seperti badai tropis, dapat menyebabkan gelombang badai yang disebut sebagai meteor tsunami yang ketinggiannya beberapa meter diatas gelombang laut normal. Ketika badai ini mencapai daratan, bentuknya bisa menyerupai tsunami, meski sebenarnya bukan tsunami. Gelombangnya bisa menggenangi daratan. Gelombang badai ini pernah menggenangi Burma (Myanmar) pada Mei 2008.
Wilayah di sekeliling Samudra Pasifik memiliki Pacific Tsunami Warning Centre (PTWC) yang mengeluarkan peringatan jika terdapat ancaman tsunami pada wilayah ini. Wilayah di sekeliling Samudera Hindia sedang membangun Indian Ocean Tsunami Warning System (IOTWS) yang akan berpusat di Indonesia.
Bukti-bukti historis menunjukkan bahwa megatsunami mungkin saja terjadi, yang menyebabkan beberapa pulau dapat tenggelam


Terminologi

Kata tsunami berasal dari bahasa jepang, tsu berarti pelabuhan, dan nami berarti gelombang. Tsunami sering terjadi Jepang. Sejarah Jepang mencatat setidaknya 195 tsunami telah terjadi.
Pada beberapa kesempatan, tsunami disamakan dengan gelombang pasang. Dalam tahun-tahun terakhir, persepsi ini telah dinyatakan tidak sesuai lagi, terutama dalam komunitas peneliti, karena gelombang pasang tidak ada hubungannya dengan tsunami. Persepsi ini dahulu populer karena penampakan tsunami yang menyerupai gelombang pasang yang tinggi.
Tsunami dan gelombang pasang sama-sama menghasilkan gelombang air yang bergerak ke daratan, namun dalam kejadian tsunami, gerakan gelombang jauh lebih besar dan lebih lama, sehingga memberika kesan seperti gelombang pasang yang sangat tinggi. Meskipun pengartian yang menyamakan dengan "pasang-surut" meliputi "kemiripan" atau "memiliki kesamaan karakter" dengan gelombang pasang, pengertian ini tidak lagi tepat. Tsunami tidak hanya terbatas pada pelabuhan. Karenanya para geologis dan oseanografis sangat tidak merekomendasikan untuk menggunakan istilah ini.
Hanya ada beberapa bahasa lokal yang memiliki arti yang sama dengan gelombang merusak ini. Aazhi Peralai dalam Bahasa Tamil, ië beuna atau alôn buluëk (menurut dialek) dalam Bahasa Aceh adalah contohnya. Sebagai catatan, dalam bahasa Tagalog versi Austronesia, bahasa utama di Filipina, alon berarti "gelombang". Di Pulau Simeulue, daerah pesisir barat Sumatra, Indonesia, dalam Bahasa Defayan, smong berarti tsunami. Sementara dalam Bahasa Sigulai, emong berarti tsunami.

Penyebab terjadinya tsunami

Skema terjadinya tsunami
Tsunami dapat terjadi jika terjadi gangguan yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air, seperti letusan gunung api, gempa bumi, longsor maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, 90% tsunami adalah akibat gempa bumi bawah laut. Dalam rekaman sejarah beberapa tsunami diakibatkan oleh gunung meletus, misalnya ketika meletusnya Gunung Krakatau.
Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba, yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air yang berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya tsunami.
Kecepatan gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut di mana gelombang terjadi, dimana kecepatannya bisa mencapai ratusan kilometer per jam. Bila tsunami mencapai pantai, kecepatannya akan menjadi kurang lebih 50 km/jam dan energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya. Di tengah laut tinggi gelombang tsunami hanya beberapa cm hingga beberapa meter, namun saat mencapai pantai tinggi gelombangnya bisa mencapai puluhan meter karena terjadi penumpukan masa air. Saat mencapai pantai tsunami akan merayap masuk daratan jauh dari garis pantai dengan jangkauan mencapai beberapa ratus meter bahkan bisa beberapa kilometer.
Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi atau sesar. Gempa bumi juga banyak terjadi di daerah subduksi, dimana lempeng samudera menelusup ke bawah lempeng benua.
Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga dapat mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan tsunami. Gempa yang menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi. Akibatnya, dasar laut naik-turun secara tiba-tiba sehingga keseimbangan air laut yang berada di atasnya terganggu. Demikian pula halnya dengan benda kosmis atau meteor yang jatuh dari atas. Jika ukuran meteor atau longsor ini cukup besar, dapat terjadi megatsunami yang tingginya mencapai ratusan meter.
Gempa yang menyebabkan tsunami
  • Gempa bumi yang berpusat di tengah laut dan dangkal (0 - 30 km)
  • Gempa bumi dengan kekuatan sekurang-kurangnya 6,5 Skala Richter
  • Gempa bumi dengan pola sesar naik atau sesar turun

Sistem Peringatan Dini

Banyak kota-kota di sekitar Pasifik, terutama di Jepang dan juga Hawaii, mempunyai sistem peringatan tsunami dan prosedur evakuasi untuk menangani kejadian tsunami. Bencana tsunami dapat diprediksi oleh berbagai institusi seismologi di berbagai penjuru dunia dan proses terjadinya tsunami dapat dimonitor melalui perangkat yang ada di dasar atu permukaan laut yang terknoneksi dengansatelit.
Perekam tekanan di dasar laut bersama-sama denganperangkat yang mengapung di laut buoy, dapat digunakan untuk mendeteksi gelombang yang tidak dapat dilihat oleh pengamat manusia pada laut dalam. Sistem sederhana yang pertama kali digunakan untuk memberikan peringatan awal akan terjadinya tsunami pernah dicoba di Hawai pada tahun 1920-an. Kemudian, sistem yang lebih canggih dikembangkan lagi setelah terjadinya tsunami besar pada tanggal 1 April 1946 dan 23 Mei 1960. Amerika serikat membuat Pasific Tsunami Warning Center pada tahun 1949, dan menghubungkannya ke jaringan data dan peringatan internasional pada tahun 1965.
Salah satu sistem untuk menyediakan peringatan dini tsunami, CREST Project, dipasang di pantai Barat Amerika Serikat, Alaska, dan Hawai oleh USGS, NOAA, dan Pacific Northwest Seismograph Network, serta oleh tiga jaringan seismik universitas.
Hingga kini, ilmu tentang tsunami sudah cukup berkembang, meskipun proses terjadinya masih banyak yang belum diketahui dengan pasti. Episenter dari sebuah gempa bawah laut dan kemungkinan kejadian tsunami dapat cepat dihitung. Pemodelan tsunami yang baik telah berhasil memperkirakan seberapa besar tinggi gelombang tsunami di daerah sumber, kecepatan penjalarannya dan waktu sampai di pantai, berapa ketinggian tsunami di pantai dan seberapa jauh rendaman yang mungkin terjadi di daratan. Walaupun begitu, karena faktor alamiah, seperti kompleksitas topografi dan batimetri sekitar pantai dan adanya corak ragam tutupan lahan (baik tumbuhan, bangunan, dll), perkiraan waktu kedatangan tsunami, ketinggian dan jarak rendaman tsunami masih belum bisa dimodelkan secara akurat.

Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia

Pemerintah Indonesia, dengan bantuan negara-negara donor, telah mengembangkan Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (Indonesian Tsunami Early Warning System - InaTEWS). Sistem ini berpusat pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Jakarta. Sistem ini memungkinkan BMKG mengirimkan peringatan tsunami jika terjadi gempa yang berpotensi mengakibatkan tsunami. Sistem yang ada sekarang ini sedang disempurnakan. Kedepannya, sistem ini akan dapat mengeluarkan 3 tingkat peringatan, sesuai dengan hasil perhitungan Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan (Decision Support System - DSS).
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Tsunami ini melibatkan banyak pihak, baik instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga internasional, lembaga non-pemerintah. Koordinator dari pihak Indonesia adalah Kementrian Negara Riset dan Teknologi(RISTEK). Sedangkan instansi yang ditunjuk dan bertanggung jawab untuk mengeluarkan INFO GEMPA dan PERINGATAN TSUNAMI adalah BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Sistem ini didesain untuk dapat mengeluarkan peringatan tsunami dalam waktu paling lama 5 menit setelah gempa terjadi.
Sistem Peringatan Dini memiliki 4 komponen: Pengetahuan mengenai Bahaya dan Resiko, Peramalan, Peringatan, dan Reaksi.Observasi (Monitoring gempa dan permukaan laut), Integrasi dan Diseminasi Informasi, Kesiapsiagaan.

Cara Kerja

Sebuah Sistem Peringatan Dini Tsunami adalah merupakan rangkaian sistem kerja yang rumit dan melibatkan banyak pihak secara internasional, regional, nasional, daerah dan bermuara di Masyarakat.
Apabila terjadi suatu Gempa, maka kejadian tersebut dicatat oleh alat Seismograf (pencatat gempa). Informasi gempa (kekuatan, lokasi, waktu kejadian) dikirimkan melalui satelit ke BMKG Jakarta. Selanjutnya BMG akan mengeluarkan INFO GEMPA yang disampaikan melalui peralatan teknis secara simultan. Data gempa dimasukkan dalam DSS untuk memperhitungkan apakah gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami. Perhitungan dilakukan berdasarkan jutaan skenario modelling yang sudah dibuat terlebih dahulu. Kemudian, BMKG dapat mengeluarkan INFO PERINGATAN TSUNAMI. Data gempa ini juga akan diintegrasikan dengan data dari peralatan sistem peringatan dini lainnya (GPS, BUOY, OBU, Tide Gauge) untuk memberikan konfirmasi apakah gelombang tsunami benar-benar sudah terbentuk. Informasi ini juga diteruskan oleh BMKG. BMKG menyampaikan info peringatan tsunami melalui beberapa institusi perantara, yang meliputi (Pemerintah Daerah dan Media). Institusi perantara inilah yang meneruskan informasi peringatan kepada masyarakat. BMKG juga menyampaikan info peringatan melalui SMS ke pengguna ponsel yang sudah terdaftar dalam database BMKG. Cara penyampaian Info Gempa tersebut untuk saat ini adalah melalui SMS, Facsimile, Telepon, Email, RANET (Radio Internet), FM RDS (Radio yang mempunyai fasilitas RDS/Radio Data System) dan melalui Website BMG (www.bmg.go.id).
Pengalaman serta banyak kejadian dilapangan membuktikan bahwa meskipun banyak peralatan canggih yang digunakan, tetapi alat yang paling efektif hingga saat ini untuk Sistem Peringatan Dini Tsunami adalah RADIO. Oleh sebab itu, kepada masyarakat yang tinggal didaerah rawan Tsunami diminta untuk selalu siaga mempersiapkan RADIO FM untuk mendengarkan berita peringatan dini Tsunami. Alat lainnya yang juga dikenal ampuh adalah Radio Komunikasi Antar Penduduk. Organisasi yang mengurusnya adalah RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia). Mengapa Radio ? jawabannya sederhana, karena ketika gempa seringkali mati lampu tidak ada listrik. Radio dapat beroperasi dengan baterai. Selain itu karena ukurannya kecil, dapat dibawa-bawa (mobile). Radius komunikasinyapun relatif cukup memadai.

Tsunami dalam sejarah

Serangan Badai Matahari

Menurut laporan website Inggris “New Scientist”, maksud dari badai matahari atau solar storm adalah siklus kegiatan peledakan dahsyat dari masa puncak kegiatan bintik matahari (sunspot), biasanya setiap 11 tahun akan memasuki periode aktivitas badai matahari. Ilmuwan Amerika baru-baru ini memperingatkan bahwa pada tahun 2012 bumi akan mengalami badai matahari dahsyat (Solar Blast), daya rusakanya akan jauh lebih besar dari badai angin “Katrina”, dan hampir semua manusia di bumi tidak akan dapat melepaskan diri dari dampak bencananya.

Badai Matahari Kuat pada 2012 akan Menyerang

Pada 22 September 2012 tengah malam, langit New York, Manhattan Amerika Serikat akan tertutupi oleh seberkas layar cahaya yang warna-warni.Di wilayah selatan New York ini, sangat sedikit orang yang dapat melihat fenomena aurora ini. Namun, perasaan menikmati indahnya pemandangan alam ini tidak akan berlangsung lama. Setelah beberapa detik, semua bola lampu listrik di wilayah tersebut mulai gelap dan berkedip tak menentu, kemudian sinar cahayanya dalam seketika tiba-tiba bertambah terang, dan cahaya bola lampu menjadi luar biasa terang. Selanjutnya, semua lampu mati. 90 detik kemudian, seluruh bagian Timur Amerika Serikat akan mengalami pemadaman listrik. Setahun kemudian, jutaan orang Amerika mulai mati, infrastruktur negara akan menjadi timbunan puing. Bank Dunia akan mengumumkan Amerika berubah menjadi negara berkembang. Pada saat yang sama, Eropa, China dan Jepang dan daerah lain atau negara juga akan sama seperti Amerika Serikat, berjuang dalam bencana sekali ini. bencana ini datang dari badai matahari atau solar storm yang dahsyat, terjadi pada permukaan matahari yang berjarak 150 juta km dari bumi.

Alat Deteksi Amerika Berhasil Mengambil Foto Badai Matahari

Mungkin cerita di atas kedengarannya mustahil, dalam keadaan normal matahari tidak akan bisa menyebabkan bencana besar seperti itu pada bumi. Namun, laporan khusus yang dikeluarkan oleh National Academy of Sciences, Amerika Serikat pada bulan Januari 2009 menyatakan bahwa bencana seperti ini sangat mungkin bisa terjadi. Studi tersebut disponsori oleh NASA. Dalam beberapa dekade, dalam perkembangan masyarakat manusia, peradaban Barat telah menanamkan bibit-bibit untuk kehancuran mereka sendiri. Cara hidup modern secara berlebihan yang sangat tergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi, secara tidak sengaja membuat kita lebih banyak terperangkap dalam suatu kondisi yang super berbahaya. Plasma balls yang dipancarkan dalam letusan permukaan matahari mungkin bisa menghancurkan jaringan listrik kita, sehingga mengakibatkan bencana dahsyat. Daniel Becker dari University of Colorado seorang ahli cuaca angkasa adalah pencetus laporan khusus dari Academy of Sciences Amerika Serikat, “Sekarang ini kita semakin dekat dengan kemungkinan bencana ini. Jika manusia tidak dapat mempersiapkan diri deng-an matang terhadap bencana badai matahari yang akan menimpa ini. Badai matahari ini mungkin akan memutuskan pasokan listrik umat manusia, sinyal ponsel, bahkan termasuk sistem pasokan air.”
Namun demikian, ada beberapa ahli yang menyatakan pandangan yang berbeda, mereka mempertimbangkan dampak badai matahari terutama terkonsentrasi di luar ruang angkasa, dan karena efek rintangan medan magnetik bumi dan atmosfir, pengaruh gangguannya tidak akan terlalu nyata terhadap kehidupan di bumi. Para ahli mengatakan, ketika aktivitas badai matahari aktif, akan terus menerus terjadi pembakaran dan peledakan pada sunspot, pada saat sejumlah besar sinar ultraviolet dilepaskan akan menyebabkan densitas lapisan ionosfir di atas angkasa bumi meningkat mendadak, menyerap habis energi gelombang pendek, sehingga gelombang pendek sinyal radio terganggu. Tetapi ponsel yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk transmisi sinyal radio tidak melalui lapisan ionosfir, sehingga pada umumnya dampak badai matahari terhadap komunikasi di permukaan bumi tidak akan signifikan. Secara teori, pada umumnya intensitas badai matahari tidak akan bisa menerobos perlindungan atmosfer dan medan magnetik bumi, hingga secara fatal mengancam spesies yang berada di bumi. Tetapi untuk badai matahari tahun 2012 para ahli khawatir mungkin menjadi pengecualian.

Mungkin Membawa Dampak Bencana Besar pada Bumi

Ilmuwan Amerika Serikat memperingatkan bahwa, pada 2012 badai matahari yang kuat di bumi akan membawa malapetaka besar pada manusia, yang akan mempengaruhi setiap aspek pada masyarakat modern sekarang. Para ahli yang mengeluarkan peringatan meng-atakan, dampak badai matahari pada bumi kemungkinan adalah “efek domino”. Coba pikirkan, bila jaringan listrik menjadi rapuh dan tidak stabil, hal-hal yang berhubungan dengan bisnis pasokan listrik juga akan menjadi korban: peralatan refrigeration berhenti, makanan dan obat-obatan yang tersimpan dalam ruang berpendingin dalam jumlah besar akan kehi-langan kondisi penyimpanan dan rusak; pompa tiba-tiba berhenti berfungsi, air minum pada masyarakat akan menjadi masalah. Selain itu, karena gangguan pada sinyal satelit, sistem posisi GPS akan menjadi sampah. Sebenarnya pada awal 1859 pernah terjadi kasus serupa, peledakan badai matahari saat itu bahkan me-ngakibatkan jaringan telegram terbakar rusak. Tentu saja sekarang ini di bumi sudah dipenuhi oleh fasilitas kabel dan nirkabel, tetapi fasilitas ini sulit menahan ujian badai matahari.
Ketika badai matahari kuat menyerang, umat manusia di bumi akan menghadapi dua masalah besar. Pertama, adalah tentang masalah jaringan listrik modern sekarang. Jaringan listrik modern sekarang pada umumnya menggunakan tegangan tinggi untuk mencakup daerah lebih luas, ini akan memungkinkan operasi jaringan listrik lebih efisien, Anda bisa mengurangi kerugian selama transmisi listrik, juga kerugian listrik karena produksi yang berlebihan. Namun, secara bersama ia juga menjadi lebih rentan terhadap serangan cuaca ruang angkasa. transmisi jaringan akan menjadi sangat rentan dan tidak stabil, atau bahkan mungkin menyebabkan terhenti secara total. dan ini hanya merupakan efek domino yang pertama, selanjutnya mungkin juga akan menyebabkan “lalu lintas lumpuh, komunikasi terputus, industri keuangan runtuh dan fasilitas umum kacau; pompa berhenti menyebabkan pasokan air minum terputus, kurangnya fasilitas pendingin, makanan dan obat-obatan sulit disimpan secara efektif. Para ilmuwan telah memperkirakan bila ada intensitas badai matahari kuat mungkin dapat menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi manusia, hanya pada tahun pertama saja kerugiannya mencapai 1-2 triliun dollar AS, sementara pemulihan dan rekonstruksinya diperlukan setidaknya 4-10 tahun
Isu yang kedua adalah tentang masalah sistem jaringan listrik yang saling ketergantungan yang dukungan kehidupan modern kita, seperti masalah air dan penanganan limbah, masalah infrastruktur logistik supermarket, masalah pengendalian gardu listrik, pasar keuangan dan lainnya yang tergantung pada listrik. Jika dua masalah digabung jadi satu, kita dapat dengan jelas melihat bahwa peristiwa kemungkinan muncul kembalinya badai matahari Carrington sangat mungkin akan menyebabkan bencana besar yang langka. Adviser laporan khusus dari National Academy of Sciences Amerika Serikat dan analis daya listrik industri John Kappenman menganggap “Bencana seperti ini dibandingkan dengan bencana yang biasa kita bayangkan secara total berlawanan. biasanya wilayah kurang berkembang rawan serangan bencana, namun dalam bencana ini, wilayah yang semakin berkembang lebih rentan terhadap serangan bencana.”

Manusia Belum Mempersiapkan Diri

Menghadapi kemungkinan bencana serius yang akan me-nimpa, Amerika Serikat dan seluruh umat manusia tidak segera merespon untuk mempersiapkan pekerjaan secara baik dalam menghadapi putaran badai matahari berikutnya. Becker me-ngatakan bahwa karena kemungkinan terjadinya skala besar badai matahari sangat kecil, “Seluruh masyarakat bahkan tidak menanggapinya, namun hanya memperhatikan masalah di hadapan mata”. Terhadap cuaca di bumi, para ahli cuaca dapat melacak badai yang akan menimpa selama beberapa hari ke depan, dan mengeluarkan peringatan yang sesuai kepada penduduk setempat, namun badai matahari atau cuaca ruang angkasa benar-benar berbeda. Backer mengatakan bahwa sekarang ini kita masih tidak dapat memprediksi secara akurat waktu dan kekuatan badai matahari, yang dapat diprediksi oleh saya dan rekan saya hanya jika sebuah badai matahari besar menyerang, kami secara mutlak tidak mampu menanganinya.”
Ini mirip dengan peringatan dini bencana angin topan dan manusia di bumi, dewasa ini umat manusia terutama tergantung pada prediksi dari siklus sunspot untuk memantau intensitas badai matahari serta dampaknya pada bumi. Yang dimaksud dengan sunspot adalah proses peningkatan dan pengurangan yang berarti dalam jumlah sunspot setiap 11 tahun. Siklus dihitung mulai dari aktivitas terendah sunspot pada matahari. Dalam masa aktif sunspot akan meningkat, badai matahari yang terjadi akan lebih banyak. Ketika badai matahari terjadi, partikel kecepatan tinggi serta aliran ion yang terbentuk oleh partikel bermuatan listrik yang dipancarkan secara besar-besaran oleh matahari akan berpengaruh terhadap lapisan medan magnit bumi, ionosfir serta kondisi atmosfir netral. Dalam masalah dampak bahaya badai matahari, lebih dari satu abad, orang-orang terus memantau kegiatan sunspot.
Berdasarkan fenomena yang terjadi di atas permukaan matahari serta data bintik matahari siklus yang terjadi sebelumnya, para ilmuwan dari National Center for Atmospheric Research, NCAR, Amerika Serikat, berhasil mengembangkan sebuah model baru ilmu dinamika solar. Dengan model baru, para astronom dapat memberikan peringatan secara dini dari aktivitas sunspot matahari. Mereka berharap bahwa peringatan dini dapat membantu perusahaan-perusahaan listrik, para pengendali satelit dan aspek lainnya dalam beberapa hari atau bahkan tahun-tahun sebelumnya agar bisa bersiap-siap menghadapai kegiatan sunspot matahari. Menurut informasi, ketepatan model baru ini dapat mencapai akurasi 98%. Richard Enke dari National Science Foundation, Departemen Atmospheric Research Amerika Serikat mengatakan bahwa jika dapat secara dini memprediksi aktivitas badai matahari, orang-orang akan dapat dengan baik menanggulangi gangguan seperti komunikasi, kegagalan satelit, pemadaman listrik, serta ancaman terhadap astronot dan hal-hal lain.

AIS (Automatic Identification System)

The Automatic Identification System (AIS) is an automated tracking system used on ships and by Vessel Traffic Services (VTS) for identifying and locating vessels by electronically exchanging data with other nearby ships and VTS stations. AIS information supplements marine radar, which continues to be the primary method of collision avoidance for water transport.

A marine traffic coordinator using AIS and radar to manage vessel traffic.
An AIS-equipped system on board a ship presents the bearing and distance of nearby vessels in a radar-like display format.
A graphical display of AIS data on board a ship.
Information provided by AIS equipment, such as unique identification, position, course, and speed, can be displayed on a screen or an ECDIS. AIS is intended to assist a vessel's watchstanding officers and allow maritime authorities to track and monitor vessel movements. AIS integrates a standardized VHF transceiver with a positioning system such as a LORAN-C or GPS receiver, with other electronic navigation sensors, such as a gyrocompass or rate of turn indicator. Ships outside AIS radio range can be tracked with the Long Range Identification and Tracking (LRIT) system with less frequent transmission.
The International Maritime Organization's (IMO) International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) requires AIS to be fitted aboard international voyaging ships with gross tonnage (GT) of 300 or more tons, and all passenger ships regardless of size. It is estimated that more than 40,000 ships currently carry AIS class A equipment.[citation needed] In 2007, the new Class B AIS standard was introduced which enabled a new generation of low cost AIS transceivers. This has triggered multiple additional national mandates from Singapore, China, Turkey and North America affecting hundreds of thousands of vessels.

Applications and limitations

Collision avoidance

AIS is used in navigation primarily for collision avoidance. Due to the limitations of VHF radio communications, and because not all vessels are equipped with AIS, the system is meant to be used primarily as a means of lookout and to determine risk of collision rather than as an automated collision avoidance system, in accordance with the International Regulations for Preventing Collisions at Sea (COLREGS).
A vessel's text-only AIS display, listing nearby vessels' range, bearings, and names
When a ship is navigating at sea, the movement and identity of other ships in the vicinity is critical for navigators to make decisions to avoid collision with other ships and dangers (shoal or rocks). Visual observation (unaided, binoculars, night vision), audio exchanges (whistle, horns, VHF radio), and radar or Automatic Radar Plotting Aid (ARPA) are historically used for this purpose. However, a lack of positive identification of the targets on the displays, and time delays and other limitation of radar for observing and calculating the action and response of ships around, especially on busy waters, sometimes prevent possible action in time to avoid collision.
While requirements of AIS are only to display a very basic text information, the data obtained can be integrated with a graphical electronic chart or a radar display, providing consolidated navigational information on a single display.

[edit] Vessel traffic services

In busy waters and harbors, a local Vessel Traffic Service (VTS) may exist to manage ship traffic. Here, AIS provides additional traffic awareness and provides the service with information on the kind of other ships and their movement.

Aids to navigation

AIS was developed with the ability to broadcast positions and names of objects other than vessels, like navigational aid and marker positions. These aids can be located on shore, such as in a lighthouse, or on the water, on platforms or buoys. The US Coast Guard suggests that AIS might replace RACON, or radar beacons, currently used for electronic navigation aids.[1]
The ability to broadcast navigational aid positions has also created the concepts of Synthetic AIS and Virtual AIS. In the first case, an AIS transmission describes the position of physical marker but the signal itself originates from a transmitter located elsewhere. For example, an on-shore base station might broadcast the position of ten floating channel markers, each of which is too small to contain a transmitter itself. In the second case, it can mean AIS transmissions that indicate a marker which does not exist physically, or a concern which is not visible (i.e., submerged rocks, or a wrecked ship). Although such virtual aids would only be visible to AIS equipped ships, the low cost of maintaining them could lead to their usage when physical markers are unavailable.

Search and rescue

For coordinating resources on scene of marine search and rescue operation, it is important to know the position and navigation status of ships in the vicinity of the ship or person in distress. Here AIS can provide additional information and awareness of the resources for on scene operation, even though AIS range is limited to VHF radio range. The AIS standard also envisioned the possible use on SAR Aircraft, and included a message (AIS Message 9) for aircraft to report position.
To aid SAR vessels and aircraft in locating people in distress a standard for an AIS-SART AIS Search and Rescue Transmitter is currently being developed by the International Electrotechnical Commission (IEC), the standard is scheduled to be finished by the end of 2008 and AIS-SARTs will be available on the market from 2009.

Accident Investigation

AIS information received by VTS is important for accident investigation to provide the accurate time, identity, position by GPS, compass heading, course over ground (COG), Speed (by log/SOG) and rate of turn (ROT) of the ships involved for accident analysis, rather than limited information (position, COG, SOG) of radar echo by radar.
The maneuvering information of the events of the accident is important to understand the actual movement of the ship before accident, particularly for collision, grounding accidents.
A more complete picture of the events could be obtained by Voyage Data Recorder (VDR) data if available and maintained on board for details of the movement of the ship, voice communication and radar pictures during the accidents. However, VDR data are not maintained due to the limited 12 hours storage by IMO requirement.
Other reference:

Binary messages

The Saint Lawrence Seaway uses AIS binary messages (message type 8) to provide information about water levels, lock orders, and weather. The Panama Canal uses AIS type 8 messages to provide information about rain along the canal and wind in the locks.

Computing and networking

Several computer programs have been created for use with AIS data. Some programs (such as ShipPlotter and gnuais) use a computer to demodulate the raw audio from a modified marine VHF radio telephone when tuned to the AIS broadcast frequency (Channel 87 and 88) into AIS data. Some programs can re-transmit the AIS information to a local or global network allowing the public or authorized users to observe vessel traffic from the web. Some programs display AIS data received from a dedicated AIS receiver onto a computer or chartplotter. Most of these programs are not AIS transmitters, thus they will not broadcast your vessel's position but may be used as an inexpensive alternative for smaller vessels to help aid navigation and avoid collision with larger vessels that are required to broadcast their position. Ship enthusiasts also use receivers to track and find vessels to add to their photo collections.[2]

AIS data on the Internet

AIS position data are available on the Internet through privately operated geographic information systems. In December 2004, the International Maritime Organization's (IMO) Maritime Safety Committee condemned the Internet publication of AIS data as follows:[3]
In relation to the issue of freely available automatic identification system (AIS)-generated ship data on the world-wide web, the publication on the world-wide web or elsewhere of AIS data transmitted by ships could be detrimental to the safety and security of ships and port facilities and was undermining the efforts of the Organization and its Member States to enhance the safety of navigation and security in the international maritime transport sector.
Others[who?] have countered that AIS provides the same information that can be obtained with a pair of binoculars  and that ships have the option of turning off AIS when they are in areas with security concerns.

Range limitations and space-based tracking

Shipboard AIS transponders have a horizontal range that is highly variable but typically only about 74 kilometers (46 mi). They reach much further vertically, up to the 400 km orbit of the International Space Station (ISS).
In June 2008, ORBCOMM launched new low-earth orbit (LEO) satellites for their machine-to-machine communications constellation. In parallel with ORBCOMM's contract with the United States Coast Guard to launch its AIS receiver-equipped Concept Demonstration Satellite (CDS), all of these new satellites were equipped with AIS receivers. ORBCOMM became the first commercial service provider of satellite AIS, having licensed satellite AIS data service to qualified government and commercial subscribers since the beginning of 2009. Additionally, ORBCOMM has incorporated AIS receivers in its next 18 ORBCOMM Generation 2 (0G2) satellites under development. As additional satellites are launched, ORBCOMM will increase its capability by providing greater redundancy and more frequent updates of AIS data. ORBCOMM's established terrestrial network of 15 Gateway Earth Stations around the world ensures timely delivery of the satellite AIS data to its subscribers.[4]
ORBCOMM has also contracted with Luxspace to provide 2 dedicated AIS detection satellites, one a polar orbiting satellite, and the other an equatorial orbiting satellite, to be launched mid-2011.
On April 28, 2008, Canadian company COM DEV International, became the first company to launch a space-based AIS nano-satellite designed to detect AIS signals from space[5], and is currently deploying a full micro-satellite constellation, global ground network and centralized data processing center in order to offer global AIS data services. The service is operational and available worldwide as of mid-2010 through exactEarth, COM DEV's data services subsidiary. exactEarth uses a patent-pending ground and space-based processing technology to minimize interference of collided AIS signals, therefore dramatically improving detection compared with all other satellite-based systems. As more satellites are launched, refresh rates will continue to increase as well.
In November 2009, the STS-129 space shuttle mission attached two antennas - an AIS VHF antenna, and an Amateur Radio antenna to the Columbus module of the ISS. Both antennas were built in cooperation between ESA and the ARISS team (Amateur Radio on ISS). Starting from May 2010 the European Space Agency is testing two different AIS receivers, one from Luxspace (GdL), one from FFI (Norway) in the frame of technology demonstration for space-based ship monitoring. This is a first step towards a satellite-based AIS-monitoring service.[6]
In 2009, LUXSPACE, a Grand Duchy of Luxembourg based company has launched PathFinder2, (ex-Rubin) and is now the only European company to have an operational system in orbit providing data from all over the world on a daily basis. The satellite is operated in cooperation with SES ASTRA and REDU Space Services. [7]
In 2007, a previous test of space-based AIS tracking by the U.S. TacSat-2 satellite suffered from signal corruption because the AIS signals interfered with each other.[8]
In July 2009, SpaceQuest launched AprizeSat-3 and AprizeSat-4 with AIS receivers.[9] These receivers have been able to pick up the USCG's SART search and rescue test beacons off of Hawaii in 2010. In July 2010, SpaceQuest and exactEarth of Canada announced an arrangement whereby data from AprizeSat-3 and AprizeSat-4 would be incorporated into the exactEarth system and made available worldwide as part of their exactAIS(TM)service.
On July 12, 2010, The Norwegian AISSat-1 satellite was successfully launched into polar orbit. The purpose of the satellite is to improve surveillance of maritime activities in the High North. AISSat-1 is a nano satellite measuring 20 x 20 x 20 cm. It weighs six kilograms and is shaped like a cube.[10][11]

Type Testing and Approval

Class A AIS products are for ships over 300 tonnes or which are SOLAS vessels and are required to meet the guidelines set out in the Marine Equipment Directive.
Class B AIS products are for non-SOLAS vessels. They need testing and certification under the R&TTE Directive for the European Union and FCC and Industry Canada certification for North America.

How AIS works

System Overview from US Coast Guard

Basic overview

AIS transponders automatically broadcast information, such as their position, speed, and navigational status, at regular intervals via a VHF transmitter built into the transponder. The information originates from the ship's navigational sensors, typically its global navigation satellite system (GNSS) receiver and gyrocompass. Other information, such as the vessel name and VHF call sign, is programmed when installing the equipment and is also transmitted regularly. The signals are received by AIS transponders fitted on other ships or on land based systems, such as VTS systems. The received information can be displayed on a screen or chart plotter, showing the other vessels' positions in much the same manner as a radar display.
The AIS standard comprises several sub-standards 'Types' which specify individual product types. The specification for each product type provides a detailed technical specification which ensures the overall integrity of the global AIS system within which all the product types must operate. The major product types described in the AIS system standards are:
Class A
Vessel mounted AIS transceiver (transmit and receive) which operates using self-organised time-division multiple-access (SOTDMA). Class As must have an integrated display, transmit at 12 W, interface capability with multiple ship systems, and offer a sophisticated selection of features and functions. Default transmit rate is every few seconds. AIS Class A type compliant devices receive all types of AIS messages.
Class B
Vessel mounted AIS transceiver (transmit and receive) which operates using carrier-sense time-division multiple-access (CSTDMA). Class Bs transmit at 2 W and are not required to have an integrated display: Class Bs can be connected to most display systems which the received messages will be displayed in lists or overlayed on charts. Default transmit rate is normally every 30 seconds, but this can be varyed according to vessel speed or instructions from base stations. The Class B type standard requires integrated GPS and certain LED indicators. Class B equipment receives all types of AIS messages.
Base station
Shore based AIS transceiver (transmit and receive) which operates using SOTDMA. Base stations have a complex set of features and functions which in the AIS standard are able to control the AIS system and all devices operating therein. Ability to interrogate individual transponders for status reports and or transmit frequency changes.
Aids to navigation (AtoN)
Shore or buoy based transceiver (transmit and receive) which operates using fixed-access time-division multiple-access (FATDMA). Designed to collect and transmit data related to sea and weather conditions as well as relay AIS messages to extend network coverage.
AIS receivers are not specified in the AIS standards, because they do not transmit. The main threat to the integrity of any AIS system are non-compliant AIS transmissions, hence careful specifications of all transmitting AIS devices. However, it is well to note that AIS transceivers all transmit on multiple channels as required by the AIS standards. As such single-channel, or multiplexed, receivers will not receive all AIS messages. Only dual-channel receivers will receive all AIS messages.

Message Types

There are 26 different types of messages capable of being sent by an AIS transponder.[12] [13]

Detailed description: Class A units

Each AIS transponder consists of one VHF transmitter, two VHF TDMA receivers, one VHF Digital Selective Calling (DSC) receiver, and links to shipboard display and sensor systems via standard marine electronic communications (such as NMEA 0183, also known as IEC 61162). Timing is vital to the proper synchronization and slot mapping (transmission scheduling) for a Class A unit. Therefore, every unit is required to have an internal time base, synchronized to a global navigation satellite system (e.g. GPS) receiver.[14] This internal receiver may also be used for position information. However, position is typically provided by an external receiver such as GPS, LORAN or an inertial navigation system and the internal receiver is only used as a backup for position information. Other information broadcast by the AIS, if available, is electronically obtained from shipboard equipment through standard marine data connections. Heading information, position (latitude and longitude), "speed over ground", and rate of turn are normally provided by all ships equipped with AIS. Other information, such as angle of heel, pitch and roll, destination, and ETA may also be provided.
An AIS transponder normally works in an autonomous and continuous mode, regardless of whether it is operating in the open seas or coastal or inland areas. AIS transponders use two different frequencies, VHF maritime channels 87B (161.975 MHz) and 88B (162.025 MHz), and use 9.6 kbit/s Gaussian minimum shift keying (GMSK) modulation over 25 or 12.5 kHz channels using the High-level Data Link Control (HDLC) packet protocol. Although only one radio channel is necessary, each station transmits and receives over two radio channels to avoid interference problems, and to allow channels to be shifted without communications loss from other ships. The system provides for automatic contention resolution between itself and other stations, and communications integrity is maintained even in overload situations.
In order to ensure that the VHF transmissions of different transponders do not occur at the same time, the signals are time multiplexed using a technology called Self-Organized Time Division Multiple Access (STDMA). The design of this technology is patented[15], and whether this patent has been waived for use by SOLAS vessels is a matter of debate between the manufacturers of AIS systems and the patent holder, though the United States Patent and Trademark Office (USPTO) canceled all claims in the original patent on March 30, 2010[16]. In order to make the most efficient use of the bandwidth available, vessels that are anchored or moving slowly transmit less frequently than those that are moving faster or are maneuvering. The update rate ranges from 3 minutes for achored or moored vessels, to 2 seconds for fast moving or maneuvering vessels, the latter being similar to that of conventional marine radar.
Each AIS station determines its own transmission schedule (slot), based upon data link traffic history and an awareness of probable future actions by other stations. A position report from one station fits into one of 2,250 time slots established every 60 seconds on each frequency. AIS stations continuously synchronize themselves to each other, to avoid overlap of slot transmissions. Slot selection by an AIS station is randomized within a defined interval and tagged with a random timeout of between 0 and 8 frames. When a station changes its slot assignment, it announces both the new location and the timeout for that location. In this way new stations, including those stations which suddenly come within radio range close to other vessels, will always be received by those vessels.
The required ship reporting capacity according to the IMO performance standard is a minimum of 2,000 time slots per minute, though the system provides 4,500 time slots per minute. The SOTDMA broadcast mode allows the system to be overloaded by 400 to 500% through sharing of slots, and still provides nearly 100% throughput for ships closer than 8 to 10 nmi to each other in a ship to ship mode. In the event of system overload, only targets further away will be subject to drop-out, in order to give preference to nearer targets, which are of greater concern to ship operators. In practice, the capacity of the system is nearly unlimited, allowing for a great number of ships to be accommodated at the same time.
The system coverage range is similar to other VHF applications, essentially depending on the height of the antenna, but is slightly better due to the use of digital VHF instead of analog VHF. Its propagation is better than that of radar, due to the longer wavelength, so it is possible to reach around bends and behind islands if the land masses are not too high. The look-ahead distance at sea is nominally 20 nmi (37 km). With the help of repeater stations, the coverage for both ship and VTS stations can be improved considerably.
The system is backward compatible with digital selective calling systems, allowing shore-based GMDSS systems to inexpensively establish AIS operating channels and identify and track AIS-equipped vessels, and is intended to fully replace existing DSC-based transponder systems.
Shore-based AIS network systems are now being built up around the world. One of the biggest fully operational, real time systems with full routing capability is in China. This system was built between 2003 and 2007 and was delivered by Saab TransponderTech.[citation needed] The entire Chinese coastline is covered with approximately 250 base stations in hot-standby configurations including 70 computer servers in three main regions. Hundreds of shore based users, including about 25 VTS centers, are connected to the network and are able to see the maritime picture, and can also communicate with each ship using SRM's (Safety Related Messages). All data are in real time. The system was designed to improve the safety and security of ships and port facilities. It is also designed according to an SOA architecture with socket based connection and using IEC AIS standardized protocol all the way to the VTS users. The base stations have hot-standby units (IEC 62320-1) and the network is the third generation network solution.
By the beginning of 2007, a new worldwide standard for AIS base stations was approved, the IEC 62320-1 standard. The old IALA recommendation and the new IEC 62320-1 standard are in some functions incompatible, and therefore attached network solutions have to be upgraded. This will not affect users, but system builders need to upgrade software to accommodate the new standard. A standard for AIS base stations has been long awaited. Currently ad-hoc networks exist with class A mobiles. Base stations can control the AIS message traffic in a region, which will hopefully reduce the number of packet collisions.